Senin, 11 Oktober 2010

Posisi Buruh dalam Perspektif Islam

Posisi Buruh dalam Perspektif Islam [Opini]

Belum lama ini, ribuan buruh PT Doson pembuat sepatu merk Nike yang telah distop prinsipalnya di AS sono di Tangerang melakukan pemogokan. Mereka melakukan demo besar-besaran di Tangerang menuntut pesangon yang memadai. Mereka berunjuk rasa karena ternyata tuntutan pesangon kepada PT Doson dibatalkan pengadilan. Akibatnya, mereka hilang harapan apalagi menjelang lebaran Idul Fitri.


Sungguh nasib buruh kini sangat mencemaskan. Di Jabotabek saja, lebih dari 200.000 buru terkena PHK. Sejumlah perusahaan besar yang padat karya seperti tekstil dan elektronik, kini hengkang dari Indonesia. Mereka memilih Thailand dan Vietnam untuk basis usahanya. Indonesia diangap sudah tidak aman lagi.


Lepas dari persoalan tersebut di atas, posisi buruh di Indonesia memang sangat lemah. Sudah upahnya sangat kecil, mereka juga rentan pemecatan. Dan jika terjadi "salah paham" dengan pihak industri, hampir pasti buruh yang dikalahkan. Masuk pengadilan? Posisi buruh makin terjepit lagi. Seperti kisah buruh PT Doson di atas, mereka justru frustrasi setelah tuntutannya ditolak sama sekali oleh pengadilan. Mendingan kalau yang menolak pihak industri, masih ada negosiasi. Kalau pengadilan, urusannya dengan hukum. Padahal, kita tahu pengadilan suka mempermainkan hukum.


Jika melihat peristiwa di atas, pernahkah kita bermimpi bahwa suatu saat posisi buruh sangat kuat karena ada buruh pabrik jadi presiden Indonesia? Mimpi indah di atas -- sebagai awal dari terbentuknya harapan dan visi tentang buruh di masa depan -- bukan sesuatu yang terlarang. Malah menjadi sesuatu yang niscaya. Reformasi politik yang telah berjalan empat tahun memungkinkan siapa pun jadi presiden, termasuk buruh pabrik yang kini nasibnya masih tersia-sia.


Polandia, misalnya, pernah mempunyai presiden seorang buruh pabrik galangan kapal yang bernama Lech Walensa. Berkat perjuangannya membela buruh yang lemah, Walensa mendapat dukungan luas dari rakyat Polandia yang tertindas rezim komunis saat itu untuk menjadi presiden. Itulah sebabnya ketika pimpinan Soldaritas Buruh Polandia -- Partai yang baru didirikannya -- menyalonkan Walensa sebagai presiden, 60 persen lebih rakyat Polandia memilihnya. Uniknya, Walensa setelah masa jabatan presidennya selesai, kembali menjadi buruh sebuah galangan kapal di Gdansk. Baginya, buruh bukan simbol pekerjaan yang rendah. Tapi sebaliknya, buruh merupakan sebuah pekerjaan mulia yang mempunyai kesempatan sama untuk mengembangkan karirnya, baik di bidang politik maupun ekonomi, setinggi mungkin.


Munculnya pandangan bahwa buruh sebagai pekerja mulia -- seperti yang terjadi di Polandia -- di Indonesia mungkin masih butuh waktu lama.

Ini karena buruh di Indonesia masih dianggap pekerja rendahan yang tidak punya peran dalam roda pemerintahan dan ekonomi bangsa. Itulah sebabnya, keberadaan kelompok buruh -- meski jumlahnya sangat besar -- kurang mendapat perhatian. Barangkali itu pula sebabnya, mengapa kaum buruh yang jumlahnya puluhan juta sampai kini tidak mempunyai representasi di DPR. Memang pemerintah menyadari perlunya Departemen Tenaga Kerja, yang antara lain tugasnya untuk mengatasi persoalan buruh yang luas dan kompleks. Tapi peran departemen tersebut masih bersifat karitatif dalam memperjuangkan buruh. Bahkan sering terjadi peran dan suara buruh justru dibungkam oleh departemen tersebut.


Di Indonesia, membicarakan buruh identik artinya dengan membicarkan kaum dhuafa. Dan membicarakan kaum dhuafa identik pula artinya dengan membicarakan kaum miskin yang kini jumlahnya mayoritas. Berdasarkan data BPS, saat ini jumlah pengangguran di Indonesia sudah mencapai hampir 30 persen. Jumlah pengangguran sebesar itu, jika tidak segera ditangani, sangat berbahaya karena bisa menimbulkan gejolak sosial yang besar.

Itulah sebabnya masalah perburuhan merupakan masalah mayoritas bangsa. Dengan dimikian, bentuk perjuangan yang dilakukan oleh siapa pun, kapan pun, dan dengan wadah apa pun, mau tak mau harus menyentuh persoalan krusial kaum buruh ini.


Jika melihat konteks tersebut, persoalan perburuhan tidak bisa dilepaskan dari dimensi sosial, politik, dan moral keagamamaan. Secara sosial politik, siapa pun yang memimpin negeri harus mampu menyelesaikan persoalan buruh, minimal mengurangi pengangguran. Pemerintah juga harus memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak hukum, hak survivalitas, hak pengembangan karir, dan hak normatif kaum buruh yang selama ini terabaikan.

Keberhasilan pemerintah dalam menjalankan tugasnya untuk menghargai kaum buruh mestinya merupakan suatu keniscayaan karena pemerintahlah yang punya perangkat hukum, politik, sosial, dan kebijakan. Karena itu, jika persoalan buruh tidak dapat ditangani dengan baik, sebenarnya pemerintah tidak punya legitimasi moral lagi untuk meneruskan kekuasaannya.


Tapi bagaimana kenyataannya di Indonesia? Pemerintah bukan hanya tidak mampu mengatasi persoalan perburuhan, sebaliknya malah menindas peran mereka. Ironisnya, pemerintahan seperti itu mendapat dukungan dari kelompok-kelompok strategis ekonomi. Selama Orde Baru, misalnya, negara justru melakukaan tindakan represif terhadap gerakan buruh yang menuntut hak-hak normatifnya, bahkan menyumbat suara mereka untuk memperjuangkan nasibnya yang buruk. Pemerintah juga tidak melakukan perlindungan terhadap buruh yang mendapatkan perlakuan buruk dan tidak manusiawi oleh pihak industri. Selama orde baru, buruh mengalami dehumanisasi dan secara sistematis terkondisikan dalam keterasingan, bekerja dalam bayang-bayang represi dan ketakuan sehingga mematikan kesadarannya sebagai manusia. Dampaknya amat tragis: hubungan buruh dan pengusaha terdegradasi menjadi hubungan antara budak dan tuan -- persis seperti hubungan perburuhan dan industri di abad ke 17.


Melihat kondisi faktual masalah perburuhan ini, pemerintah dan komponen bangsa yang peduli nasib buruh sudah saatnya merumuskan kembali pengertian tentang "buruh". Reformasi pengertian buruh dalam kaitannya dengan dunia kerja dan relasi antara industri dan buruh perlu mendapat perhatian serius.

Bagi kita umat Islam, paradigma buruh sebagai alat produksi telah 14 abad lalu ditinggalkan karena tidak sesuai dengan petunjuk Al-Quran. Bagi kitab suci Al-Quran "kaum buruh yang bekerja di mana pun" merupakan perwujudan aktualisasi diri manusia yang bekerja untuk menyempurnakan dunia sekaligus bekerja untuk tugas kekhalifahannya di muka bumi.


Kita tahu, bahwa Tuhan menciptakan manusia itu untuk beribadah kepadaNya, sekaligus untuk menjadi khalifah di muka bumi. Dalam konteks inilah kita bisa melihat bahwa "bekerja" mempunyai dimensi spiritual yang tinggi: Bekerja bukan sekadar untuk survive tapi juga merefleksikan kekhalifahan manusia sesuai dengan tujuan Penciptaan.

Dengan pandangan ini, maka harkat dasar semua umat manusia dalam bekerja adalah amanat dan kesadaran Ilahiah, sebagaimana ditegaskan Allah bahwa salah satu tujuan diciptakan hidup dan mati adalah untuk melihat siapa yang paling baik pekerjaannya (QS Al Mulk 2).




Dengan mempertautkan dimensi spiritual dalam perspektif perburuhan tersebut, kita bisa memahami bahwa sebetulnya pekerjan apa pun harus mendapat penghargaan yang tinggi karena semuanya merupakan "refleksi kekhalifahan" manusia di muka bumi. Penghargan yang tinggi itu pada tataran pragmatis harus diwujudkan dalam bentuk perupahan yang wajar dan manusiawi, peningkatan karir buruh, serta pemberian jaminan sosial dan kesehatan yang memadai.

Dari perspektif ini pula kita bisa mengkritik kesenjangan perupahaan yang amat tinggi antara buruh kasar dan buruh elit, yang di Indonesia perbedaannya bisa mencapaai 100:1. Kenapa? Secara spiritual, pekerjaan apa pun, sesuai tingkat kemampuan buruh, merupakan refleksi "pekerjaan Tuhan" di muka bumi. Ini artinya, jika sebuah institusi atau owner industri memberi upah yang tidak manusiawi kepada buruh-buruhnya berarti dia menghina "tangan-tangan" Tuhan yang sedang bekerja untuk kesejahteraan dan kemaslahatan umat manusia. (Eggi Sudjana, SH, MSI adalah Presiden Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia --PPMI, anggota Majelis Pakar PPP).

http://www.hupelita.com/baca.php?id=12117

Tidak ada komentar:

Posting Komentar